Prinsip kliring
Kliring (dari Bahasa Inggris “clearing”) sebagai suatu istilah dalam
dunia perbankan dan keuangan menunjukkan suatu aktivitas yang berjalan sejak
saat terjadinya kesepakatan untuk suatu transaksi hingga selesainya pelaksanaan
kesepakatan tersebut. Kliring sangat dibutuhkan sebab kecepatan dalam dunia
perdagangan jauh lebih cepat daripada waktu yang dibutuhkan guna melengkapi
pelaksanaan asset transaksi. Klorong melibatkan manajemen dari paska
perdagangan pra penyelesaian, ekposur kredit guan memastikan bahwa transaksi
dagang terselesaikan sesuai dengan aturan pasar walaupun pembeli maupun penjual
menjadi tidak mampu melaksanakan penyelesaian kesepakatannya. Proses kliring
adalah termasuk pelaporan pemantauan marjin risiko netting transaksi dagang
menjadi posisi tunggal, penanganan, perpajakan dan penanganan kegagalan.
Di Amerika, kliring antar bank
dilaksanakan melalui Automated Clearing House (ACH), dimana aturan dan
regulasinya diatur oleh NACHA-The Electronic Payments Association,yang dahulu
dikenal dengan nama National Automated Clearing House Association, serta
Federal Reserve. Jaringan ACH ini akan bertindak selaku pusat fasilitas kliring
untuk semua transaksi transfer dana secara elektronik. Kliring antar bank atas cek
dilaksanakan oleh bank koresponden dan Federal Reserve.
Sistem kliring yang dilaksanakan BI saat
ini sudah dapat berlangsung secara nasional melalui Sistem Kliring Nasional BI
(SKNBI). Maksudnya, proses kliring baik kliring debet maupun kliring kredit
yang penyelesaian akhirnya dilakukan secara nasional. Selain itu ada tiga
sistem kliring lain yang lazim dikenal, yakni Sistem manual, Sistem Semi
Otomasi, dan Sistem Otomasi. Kliring manual adalah penyelenggaraan kliring
lokal yang dalam perhitungan, pembuatan bilyet saldo kliring serta pemilihan
warkat dilakukan secara manual oleh setiap peserta kliring. Perhitungan kliring
didasarkan pada warkat yang dikliringkan oleh peserta kliring.
Sedangkan sistem semi otomasi adalah
kliring lokal yang perhitungan dan pembuatan bilyet saldo kliring dilakukan
secara otomasi melalui alat bantu komputer. Namun pemilihan warkat tetap
dilakukan secara manual oleh bank peserta kliring. Sementara sistem kliring
lokal yang dalam perhitungan dan pembuatan bilyet saldo kliring dan pemilahan
warkat dilakukan secara otomatis dengan bantuan komputer.
·
Mekanisme proses kliring elektronik
§ Mempersiapkan
warkat dan dokumen kliring meliputi pemisahan warkat menurut jenis transaksinya
(warkat debet atau warkat kredit), pembubuhan stempel kliring dan pencantuman
informasi MICR code line baik pada warkat maupun pada dokumen kliring.
§ Selanjutnya
Bank pengirim merekam data warkat kliring ke dalam sistem TPK dengan
menggunakan mesin reader encoder atau meng-input data warkat untuk menghasilkan
DKE.
§ Mengelompokkan
warkat dalam batch kemudian menyusunnya dalam bundel warkat yang terdiri dari:
BPWD/BPWK; Lembar Substitusi; Kartu Batch Warkat Debet/Kredit ; Warkat
Debet/Kredit.
§ Mengirimkan
batch DKE secara elektronik melalui JKD ke SPKE di penyelenggara. Fisik warkat
dari DKE selanjutnya dikirim ke penyelenggara untuk dipilah berdasarkan bank
tertuju secara otomasi dengan menggunakan mesin baca pilah berteknologi image.
§ Peserta
dapat melihat status DKE di TPK masingmasing, apakah pengiriman tersebut sukses
atau gagal.
§ SPKE
akan memproses DKE yang diterima secara otomatis setelah batas waktu transmit
DKE berakhir.
§ Selanjutnya
SPKE akan mem-broadcast informasi hasil kliring kepada seluruh TPK sehingga
peserta dapat secara on-line melihat posisi hasil kliring melalui TPK.
Hasil
perhitungan DKE tersebut (Bilyet Saldo Kliring) selanjutnya dibukukan ke
rekening giro masing-masing bank di sistem Bank Indonesia.
·
Informasi pada cek dan struktur kode
MIRC
Di
dalam chek code ini terdapat berbagai informasi yyang berkaitan dengan
transaksi nasabah. Mulai dari Paye, Draw e, Draw bank, Drawer Account, Chek
number, Amoun, Currency , Payee Bank Number, Payee account, Dat, Autorized
signature of makers.
Sistem kliring elektronik di Indonesia
Pengertian umum kliring
adalah pertukaran warkat atau data keuangan elektronik antar bank baik atas
nama Bank maupun nasabah yang hasil perhitungannya diselesaikan pada waktu
tertentu. Penyelenggaraan kliring di Jakarta pada awalnya
dilaksanakan secara manual. Namun dalam perkembangannya, sejalan dengan
meningkatnya transaksi perekonomian nasional khususnya di Jakarta dimana pada
akhir tahun 1989 volume warkat telah mencapai 82.052 lembar warkat perhari
dengan jumlah bank peserta mencapai 613 bank. Hal ini menyebabkan
penyelenggaraan kliring secara manual dirasakan tidak efektif dan efisien lagi
dan suasana pertemuan kliring yang hiruk pikuk sering kali diibaratkan dengan
suasana “pasar burung”.
Melihat kondisi tersebut,
Direksi Bank Indonesia dengan SKBI No. 21/9/KEP/DIR tanggal 23 Mei 1988,
kemudian menetapkan untuk mengubah sistem penyelenggaraan kliring lokal Jakarta
dari sistem manual menjadi sistem otomasi kliring. Meskipun demikian baru pada
tanggal 4 Juni 1990 sistem otomasi dapat diimplementasikan
untuk memproses kliring penyerahan. Sementara untuk proses kliring pengembalian
tetap dilakukan secara manual, sampai kemudian pada tahun 1994 diganti dengan
sistem semi otomasi yang kemudian dikenal dengan sebutan SOKL .
Pada tahun 1996 rata-rata
volume warkat kliring Jakarta mencapai 216.911 lembar per hari, dengan
pertumbuhahan rata-rata dalam tiga tahun sekitar 6%. Hal tersebut menyebabkan
meningkatnya tekanan dalam kegiatan proses warkat kliring baik di bank peserta
maupun di Bank Indonesia karena keterbatasan kemampuan sarana kliring yang ada
dibandingkan dengan peningkatan jumlah warkat kliring. Pada gilirannya
hambatan-hambatan tersebut menyebabkan terjadinya keterlambatan dalam settlement dan penyediaan informasi hasil kliring. Hal ini
berpotensi mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap bank dan merugikan
lembaga lain yang terkait serta menimbulkan efek negatif berantai (systemic
risk)
Sehubungan dengan itu, sesuai
acuan pokok pengembangan sistem pembayaran nasional (Blue Print Sistem Pembayaran Nasional Bank Indonesia;1995)
yang antara lain memuat visi, kerangka kebijakan dan langkah-langkah yang perlu
dikembangkan dalam menciptakan sistem pembayaran nasional yang lebih efektif,
efisien, handal dan aman, maka pada tahun 1996 konsep penyelenggaraan kliring
lokal secara elektronik dengan teknologi image mulai dikembangkan oleh Urusan Akunting dan Sistem
Pembayaran Bank Indonesia. Pada tanggal 18 September 1998, Bank Indonesia
mencatat sejarah baru dalam bidang sistem pembayaran dimana untuk pertama
kalinya di Indonesia diresmikan penggunaan Sistem Kliring Elektronik (SKE) oleh
Gubernur Bank Indonesia, DR. Syahril Sabirin. Penerapan SKE tersebut dilakukan
pada Penyelenggaraan Klring Lokal Jakarta dimana pada awal implementasi, jumlah
peserta yang ikut serta masih terbatas 7 bank peserta kliring (BRI, BDN, BII,
BCA, Deutsche Bank, Standard Chartered, Citibank) dan 2 peserta intern dari
Bank Indonesia (Bagian Akunting Thamrin dan Bagian Akunting Kota).
Keikutsertaan kantor-kantor bank dalam Kliring Elektronik dilakukan secara
bertahap sesuai dengan kesiapan teknis masing-masing peserta. Bagi kantorkantor
bank yang belum menjadi anggota Kliring Elektronik, perhitungan kliring tetap
menggunakan sistem kliring otomasi. Implementasi Kliring Elektronik secara
menyeluruh kepada seluruh peserta kliring di Jakarta baru dilaksanakan pada
tanggal 18 Juni 2001.
·
Warkat
Warkat merupakan alat pembayaran bukan tunai
yang diperhitungkan melalui kliring. Jenis warkat yang dapat diperhitungkan
dalam kliring adalah :
1. Cek;
2. Bilyet
Giro;
3.
Wesel Bank Untuk Transfer;
4. Surat Bukti Penerimaan Transfer;
5. Nota
Debet; dan
6. Nota
Kredit.
·
Dokumen
Kliring
Dokumen kliring merupakan
dokumen kontrol dan berfungsi sebagai alat bantu dalam proses perhitungan
kliring yang terdiri dari :
1. Bukti Penyerahan Warkat Debet
– Kliring Penyerahan (BPWD).
2. Bukti Penyerahan Warkat
Kredit – Kliring Penyerahan (BPWK).
3. Kartu Batch Warkat Debet.
4. Kartu Batch warkat Kredit.
5. Lembar Subsitusi.
Setiap
warkat dan dokumen kliring yang digunakan wajib memenuhi spesifikasi teknis
yang ditetapkan Bank Indonesia antara lain meliputi kualitas kertas, ukuran,
dan rancang bangun. Setiap pembuatan dan pencetakan warkat dan dokumen kliring
untuk pertama kali dan atau perubahannya oleh peserta wajib memperoleh
persetujuan secara tertulis dari Bank Indonesia Dalam Kliring Elektronik, agar
data pada warkat dan dokumen kliring dapat dibaca oleh mesin baca pilah yang
ada di Penyelenggara maka warkat dan dokumen kliring tersebut wajib dicantumkan
Magnetic Ink Character Recognition (MICR) code line. MICR adalah tinta magnetic
khusus yang dicantumkan pada clear band yang merupakan informasi dalam bentuk
angka dan symbol.
·
Penyelenggara
Kliring
§ Siklus Kliring Nominal Besar,
terdiri dari :
1. Kliring Penyerahan Nominal
Besar.
2. Kliring Pengembalian Nominal
Besar Kedua kegiatan kliring tersebut dilakukan pada hari yang sama.
§ Siklus Kliring Ritel, terdiri
dari :
1. Kliring Penyerahan Ritel.
2. Kliring Pengembalian Ritel
Kedua kegiatan kliring tersebut dilakukan pada tanggal yang berbeda yaitu
kegiatan kliring pada huruf b dilakukan pada hari kerja berikutnya setelah
kegiatan kliring pada huruf a dilaksanakan.
·
Bank
Indonesia Real Time Gross Settlement (BI-RTGS)
Untuk mendukung efektifitas
implementasi kebijakan moneter dan untuk mempercepat pemulihan industri
perbankan, kebijakan system pembayaran akan diarahkan untuk mempercepat
pengembangan dan implementasi suatu system pembayaran yang efisien, akurat,
aman, dan konsisten melalui peningkatan kualitas layanan. Salah satu cara untuk
mencapai hal tersebut adalah melalui implemnetasi Real Time Gross Settlement
System (BI-RTGS) yang sudah dimulai sejak 17 November tahun 2000 di Jakarta. Tujuan RTGS:
1. Memberikan pelayanan sistem
transfer dana antar peserta, antar nasabah peserta dan pihak lainnya secara
cepat, aman, dan efisien.
2. Memberikan kepastian
pembayaran.
3. Memperlancar aliran
pembayaran (payment flows).
4. Mengurangi resiko settlement
baik bagi peserta maupun nasabah peserta (systemic risk).
5. Meningkatkan efektifitas
pengelolaan dana (management fund) bagi peserta melalui sentralisasi rekening
giro.
6. Memberikan informasi yang
mendukung kebijakan moneter dan early warning system bagi pengawasan bank.
7. Meningkatkan efisiensi pasar
uang.
Referensi :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar